15 Agustus, 2009

KISRUH DI LEMBAGA PEMBERANTASAN KORUPSI



Sejak ditahannya Ketua KPK Antasari Azhar yang terkait kasus pembunuhan Direktur PT Rajawali Nusantara Nasrudin Zulkarnaen maka KPK dipimpin secara kolektif bergiliran antar wakil ketuanya. Ditahannya Antasari Azhar yang disangkakan terlibat kasus criminal memberikan efek negative bagi lembaga KPK, kok bisa seorang pimpinan lembaga tinggi “superbody” bermoral rendah seperti itu.

Sejak saat itu KPK seperti mendapat cap jelek yang kredibilitasnya mulai dipertanyakan orang. Kesempatan ini digunakan sebaik-baiknya oleh para koruptor baik yang sudah dihukum maupun yang masih dalam penyidikian untuk melakaukan serangan balik terhadap KPK. Serangan tidak hanya datang dari para koruptor tapi juga dari lembaga-lembaga setingkat KPK yang merasa “lahannya” semakin sempit . Kitapun maklum bahwa semakin sempit lahan maka semakin sedikit juga “kesempatan” untuk bermain, diibaratkan petani yang memiliki lahan sedikit maka tentu sedikit pula panen yang didapat.

Persaingan antar lembaga pemerintah pemberantas korupsi seperti polisi, jaksa dan KPK telah ditenggahi oleh Presiden SBY di istana Negara beberapa waktu lalu. Beliau berpesan bahwa persaingan boleh saja terjadi asalkan tetap dalam koridor siapa yang cepat dan tepat dalam memberantas korupsi. Masalahnya sekarang terjadi bahwa didalam ketiga lembaga tersebut juga merupakan sarang koruptor yang berlindung dibalik seragam dan jabatannya. Hal inilah yang terjadi saat ini bahwa masing-masing lembaga pemberantas korupsi mencari koruptor di lembaga pemberantas korupsi lainnya. Jadilah polisi menangkap anggota KPK, KPK juga menyidik koruptor di Kepolisian dan Kejaksaan. Dan jaksa juga menyidik koruptor di Kepolisian dan KPK. Inilah bentuk rivalitas yang sebenarnya sangat bagus buat memberangus koruptor. Kitapun sudah tahu bahwa sarang koruptor sebenarnya ada di lembaga-lembaga yang tugasnya penegak hukum tersebut. Koruptor yang tertangkap tinggal menyediakan sejumlah uang untuk dapat bebas dari jeratan hukum jika sedang di sidik perangkat hukum. Uang pelican dan mafia peradilan bukanlah ha lasing bagi masyarakat kita. Inilah bentuk kekotoran hukum yang semuanya bisa dibeli dengan uang.

Saya teringat kejadian masa lalu saya dimana seorang teman saya ditusuk oleh maling yang masuk ke took miliknya. Maling tersebut berhasil ditangkap dan disidang di pengadilan. Pada saat saya datang ke sidang maka jaksa pengadilan tersebut menanyakan kepada keluarga korban “berapa tahun pelaku ingin di penjarakan? Saya yang masih awan pada saat itu baru mengerti sekarang bahwa hokum bisa dinegosiasikan. Saya berharap kejadian beberapa puluh tahun yang lalu itu tidak terjadi lagi sekarang namun sepertinya saya harus kecewa. Orang batak bilang “Hepeng mangatur nagarahoon” seperti masih terjadi sampai sekarang. Saya sangat merindukan adanya koruptor yang dihukum mati seperti di Negara China dan Vietnam agar memberikan efek jera.

Tidak ada komentar: