28 Januari, 2009

HARGA SEBUAH CITA-CITA


Mari belajar dari kisah pengembaraan Jenderal Sun Tzu. Bertahun-tahun mengembara, Sun Tzu telah mengalami banyak sekali kejadian. Ia pernah menjadi budak, pelayan, pedagang, prajurit, bahkan menjadi pejabat pemerintahan. Pahit getirnya kehidupan dia jalani demi sebuah cita-cita, demi sebuah karir. Berbekal pengalaman itulah akhirnya Sun Tzu berhasil menyelesaikan karya tulisnya, yaitu 13 Bab Strategi Perang.
Apa yang bisa dipetik dari pengalaman perjalanan Sun Tzu itu? Makna dari pengembaraan Sun Tzu itu adalah, seseorang boleh mengalami pahit getirnya perjalanan hidup. Tetapi dia tidak boleh berhenti dan tidak boleh kehilangan tujuannya semula. Tidak boleh kehilangan arah cita-citanya. Tidak boleh kehilangan impiannya.
Jadi, kita harus berani membayar harga dari sebuah cita-cita yang besar. sebab cita-cita selalu membutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Selain perjuangan dan pengorbanaan, cita-cita besar membutuhkan ketekunan, keuletan, kedisiplinan, dan tanggung jawab yang luar biasa.
Cita-cita yang besar adalah cita-cita yang sanggup memberi kekuatan luar biasa kepada seseorang untuk menjalani hidup yang keras. Sebuah impian yang pasti mempunyai suatu titik target yang pantas dikejar. Cita-cita besar tidak mungkin dicapai hanya dengan target kecil serta usaha yang biasa-biasa saja. Cita-cita besar, impian besar, harus diraih melalui target-target yang menggairahkan. Target yang mendorong kita mengerahkan seluruh daya upaya kita. Target yang mampu menyemburkan hasrat sangat kuat untuk meraihnya. Membuat kita berusaha sekeras-kerasnya. Bahkan membuat kita berani memaksa diri kita sampai target itu tercapai.
Sebab seperti kata-kata mutiara yang saya tuliskan; "Jika kita keras di dalam, maka kehidupan akan lunak kepada kita. Sebaliknya, jika kita lunak di dalam, maka kehidupan akan begitu keras kepada kita". Cita-cita yang besar tidak bisa diraih dengan sikap mental yang lunak.
Demikian dari saya Andrie Wongso
Action& Wisdom Motivation Training
Success is My Right
Salam Sukses Luar Biasa!!!

13 Januari, 2009

MERENDAH ITU INDAH..


Di satu kesempatan, ada turis asing yang meninggal di Indonesia. Demikian baiknya turis ini ketika masih hidup, sampai-sampai Tuhan memberikan kesempatan untuk memilih : surga atau neraka. Tahu bahwa dirinya meninggal di Indonesia, dan sudah teramat sering ditipu orang, maka iapun meminta untuk melihat dulu baik surga maupun neraka. Ketika memasuki surga, ia bertemu dengan pendeta, kiai dan orang-orang baik lainnya yang semuanya duduk sepi sambil membaca kitab suci. Di neraka lain lagi, ada banyak sekali hiburan di sana. Ada penyanyi cantik dan seksi lagi bernyanyi. Ada lapangan golf yang teramat indah. Singkat cerita, neraka jauh lebih dipenuhi hiburan dibandingkan surga.

Yakin dengan penglihatan matanya, maka turis tadi memohon ke Tuhan untuk tinggal di neraka saja. Esok harinya, betapa terkejutnya dia ketika sampai di neraka. Ada orang dibakar, digantung, disiksa dan kegiatan-kegiatan mengerikan lainnya. Maka proteslah dia pada petugas neraka yang asli Indonesia ini. Dengan tenang petugas terakhir menjawab : 'kemaren kan hari terakhir pekan kampanye pemilu". Dengan jengkel turis tadi bergumam : 'dasar Indonesia, jangankan pemimpinnya, Tuhannya saja tidak bisa dipercaya!'.
Anda memang tidak dilarang tersenyum asal jangan tersinggung karena ini hanya lelucon. Namun cerita ini menunjukkan, betapa kepercayaan (trust) telah menjadi komoditi yang demikian langka dan mahalnya di negeri tercinta ini. Dan sebagaimana kita tahu bersama, di masyarakat manapun di mana kepercayaan itu mahal dan langka, maka usaha-usaha mencari jalan keluar amat dan teramat sulit.

Jangankan dalam komunitas besar seperti bangsa dan perusahaan dengan ribuan tenaga kerja, dalam komunitas kecil berupa keluarga saja, kalau kepercayaan tidak ada, maka semuanya jadi runyam. Pulang malam sedikit, berujung dengan adu mulut. Berpakaian agak dandy sedikit mengundang cemburu.

Di perusahaan malah lebih parah lagi. Ketidakpercayaan sudah menjadi kanker yang demikian berbahaya. Krisis ekonomi dan konglomerasi bermula dari sini. Buruh yang mogok dan mengambil jarak di mana-mana, juga diawali dari sini. Apa lagi krisis perbankan yang memang secara institusional bertumpu pada satu-satunya modal : trust capital.

Bila Anda rajin membaca berita-berita politik, kita dihadapkan pada siklus ketidakpercayaan yang lebih hebat lagi. Polan tidak percaya pada Bambang. Bambang membenci Ani. Ani kemudian berkelahi dengan Polan. Inilah lingkaran ketidakpercayaan yang sedang memperpanjang dan memperparah krisis.

Dalam lingkungan seperti itu, kalau kemudian muncul kasus-kasus perburuhan seperti kasus hotel Shangrila di Jakarta yang tidak berujung pangkal, ini tidaklah diproduksi oleh manajemen dan tenaga kerja Shangrila saja. Kita semua sedang memproduksi diri seperti itu.

Andaikan di suatu pagi Anda bangun di pagi hari, membuka pintu depan rumah, eh ternyata di depan pintu ada sekantong tahi sapi. Lengkap dengan pengirimnya : tetangga depan rumah. Pertanyaan saya sederhana saja : bagaimanakah reaksi Anda ? Saya sudah menanyakan pertanyaan ini ke ribuan orang. Dan jawabannyapun amat beragam.

Yang jelas, mereka yang pikirannya negatif, 'seperti sentimen, benci, dan sejenisnya ', menempatkan tahi sapi tadi sebagai awal dari permusuhan (bahkan mungkin peperangan) dengan tetangga depan rumah. Sebaliknya, mereka yang melengkapi diri dengan pikiran-pikiran positif 'sabar, tenang dan melihat segala sesuatunya dari segi baiknya' menempatkannya sebagai awal persahabatan dengan tetangga depan rumah. Bedanya amatlah sederhana, yang negatif melihat tahi sapi sebagai kotoran yang menjengkelkan. Pemikir positif meletakkannya sebagai hadiah pupuk untuk tanaman halaman rumah yang memerlukannya.

Kehidupan serupa dengan tahi sapi. Ia tidak hadir lengkap dengan dimensi positif dan negatifnya. Tapi pikiranlah yang memproduksinya jadi demikian. Penyelesaian persoalan manapun 'termasuk persoalan perburuhan ala Shangrila' bisa cepat bisa lambat. Amat tergantung pada seberapa banyak energi-energi positif hadir dan berkuasa dalam pikiran kita.

Cerita tentang tahi sapi ini terdengar mudah dan indah, namun perkara menjadi lain, setelah berhadapan dengan kenyataan lapangan yang teramat berbeda. Bahkan pikiran sayapun tidak seratus persen dijamin positif, kekuatan negatif kadang muncul di luar kesadaran.

Ini mengingatkan saya akan pengandaian manusia yang mirip dengan sepeda motor yang stang-nya hanya berbelok ke kiri. Wanita yang terlalu sering disakiti laki-laki, stang-nya hanya akan melihat laki-laki dari perspektif kebencian. Mereka yang lama bekerja di perusahaan yang sering membohongi pekerjanya, selamanya melihat wajah pengusaha sebagai penipu. Ini yang oleh banyak rekan psikolog disebut sebagai pengkondisian yang mematikan.

Peperangan melawan keterkondisian, mungkin itulah jenis peperangan yang paling menentukan dalam memproduksi masa depan. Entah bagaimana pengalaman Anda, namun pengalaman saya hidup bertahun-tahun di pinggir sungai mengajak saya untuk merenung. Air laut jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan air sungai. Dan satu-satunya sebab yang membuatnya demikian, karena laut berani merendah.

Demikian juga kehidupan saya bertutur. Dengan penuh rasa syukur ke Tuhan, saya telah mencapai banyak sekali hal dalam kehidupan. Kalau uang dan jabatan ukurannya, saya memang bukan orang hebat. Namun, kalau rasa syukur ukurannya, Tuhan tahu dalam klasifikasi manusia mana saya ini hidup. Dan semua ini saya peroleh, lebih banyak karena keberanian untuk merendah.

Ada yang menyebut kehidupan demikian seperti kaos kaki yang diinjak-injak orang. Orang yang menyebut demikian hidupnya maju, dan sayapun melaju dengan kehidupan saya. Entah kebetulan entah tidak. Entah paham entah tidak tentang pilosopi hidup saya seperti ini. Seorang pengunjung web site saya mengutip Rabin Dranath Tagore : 'kita bertemu yang maha tinggi, ketika kita rendah hati'. ***


by Gede Prama

06 Januari, 2009

KEKUATAN KEBERANIAN MENGAMBIL RESIKO

Dalam perjalanan hidup Jenderal Sun Tzu dikisahkan bahwa betapa strategi perang terus untuk mencapai kemenangan itu bisa berubah detik demi detik, demi mengimbangi atau mengantisipasi perubahan strategi musuh. Strategi ini berpijak pada dasar pemikiran bahwa cara terbaik untuk menang perang adalah dengan menguasai kemampuan membaca jalan pikiran ahli strategi musuh. Dan barangsiapa mengetahui jalan pikir musuh dan mengetahui titik-titik kelemahannya, dipastiikan dia bisa memenangkan adu strategi tersebut.
Namun setiap strategi pasti mengandung risiko. Dan strategi peran Sun Tzu ditegaskan adanya prinsip mendasar yang mengatakan, "Kemenangan besar hanya bisa dilakukan orang yang berani ambil risiko besar". Prinsip ini menegaskan bahwa tanpa keberanian mengambil taktik berisiko besar, maka kemenangan besar sulit diraih. Inilah inti dari strategi perang Sun Tzu yang mensinergikan antara strategi perang yang cerdik dan matang dengan keberanian mengambil risiko besar demi kemenangan yang besar pula.
Dalam kehidupan non-kemiliteran pun seperti bidang manajemen, kewirausahaan, maupun kehidupan pribadi, kita mengenal prinsip strategi dan risiko semacam ini. Mungkin kita telah menyusun rencana dan menetapkan strategi untuk melakukan investasi, memulai bisnis baru, melakukan diversifikasi maupun ekspansi usaha. Ada target-target dan mimpi-mimpi besar dalam setiap tindakan tersebut. Ada peluang dan tantangan. Namun yang tidak boleh kita lupakan adalah faktor risiko yang sudah pasti ada dan melekat dalam setiap action kita. Ada risiko gagal, ada risiko berhasil. Itu pasti!
Contoh: mungkin berdasarkan perhitungan yang begitu matang, kita memiliki kemungkinan keberhasilan di atas 70%. Memang dalam strategi Sun Tzu kita diwajibkan untuk bisa memetakan keberhasilan lebih dulu. Memastikan kemenangan baru melakukan perang. Nah, jika rencana dan strategi telah dieksekusi sementara hasil yang didapat tidak sesuai perhitungan, itulah risiko sebuah action. Kita tidak mungkin berhenti bertindak hanya karena ingin menghilangkan sama sekali risiko kegagalan.
Seperti dalam kata-kata mutiara yang saya ciptakan, yang berbunyi; "Memang di dalam kehidupan ini tidak ada yang pasti. Tetapi kita harus berani memastikan apa-apa yang ingin kita raih". Jadi dalam lapangan hidup apa pun, strategi itu penting. Tetapi keberanian mengambil risiko juga sangat penting. Ingat, strategi tanpa keberanian mengambil risiko tidak akan membawa kita ke tujuan apa pun.

04 Januari, 2009

MATA PEMIMPIN


ada mata inderawi,
ada mata budi,
dan ada mata jiwa.

Apakah persamaan yang dimiliki oleh tokoh-tokoh sekaliber Sir Winston Churchill, Soekarno, Mohammad Hatta, Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr, Bunda Teresa, Nelson Mandela, Kim Dae-jung, Henry Ford, Walt Disney, Jack Welch, Konosuke Matsushita, Rich DeVos–Jay Van Andel, Steve Jobs, Bill Gates, Larry Ellison, Andy Grove, Michael Dell, Jeff Bezos, dan Lou Gerstner? Sedikitnya dapat disebutkan dua hal ini: pertama, visi besar dan jelas (great-clear-bold vision); kedua, konstituen yang tulus dan antusias (willing and enthusiastic constituents). Terhadap jawaban itu dapat ditambahkan bahwa mereka sama-sama manusia yang pernah dilahirkan di muka bumi, pernah melakukan serangkaian aktivitas terencana dalam hidupnya, dan kemudian dikenal dunia sebagai negarawan, pemimpin besar, perintis dan agen perubahan, inovator-kreator, konglomerat, orang-orang terkaya, dan seterusnya.

Kita tahu bahwa “bisnis” utama para pemimpin sejati adalah visi. Mereka melakukan “survai pasar” untuk mengenai kebutuhan “konsumennya”. Mereka merancang konsep “produk dan jasa” yang akan “diproduksinya”. Mereka mempersiapkan “saluran distribusi”, melakukan “promosi”, dan merekrut “agen-agen” sampai “pengecer”. Mereka menetapkan “harga produk/jasa” dan memberikan “personal guarantee” kepada para “konsumen”. Singkatnya, mereka melakukan segala aktivitas “pemasaran” dalam arti yang seluas-luasnya untuk memastikan visi yang dirumuskannya “laris terjual” (sold).
Apakah para pemimpin visioner itu “cuma” sekadar “pemasar” saja? Tidak. Mereka juga “mengkonsumsi” sendiri visi yang dirumuskannya itu. Mereka hidup dari situ, mereka makan dan minum dari situ, mereka bernafas dari situ. Mereka menjadi “pasangan” dari visi yang dikampanyekannya. Begitulah, sejarah mengajarkan kepada kita bahwa menjadi pemimpin itu tidak mungkin, bila tanpa visi. Kepemimpinan tanpa visi itu tidak ada. Kalaupun ada, hanya seolah-olah ada, tidak sejati, tidak sungguh-sungguh ada.

Masalahnya mengapa banyak rumusan visi yang digagas oleh orang tertentu tidak “dibeli” oleh orang lain? Mengapa banyak orang yang gede rasa (ge-er), merasa memiliki visi dan menyebut dirinya pemimpin, tetapi tidak banyak (atau bahkan tidak ada sama sekali) orang-orang yang willing to follow enthusiastically? Saya tidak memiliki jawaban yang pasti. Namun studi dan perenungan saya selama tiga tahun terakhir sedikitnya menunjukkan 17 kemungkinan berikut:

visi itu tidak cukup jelas;
visi itu tidak cukup dikomunikasikan;
visi itu tidak cukup menarik perhatian;
visi itu tidak sesuai dengan harapan dan keinginan banyak orang;
visi itu tidak cukup sederhana untuk dapat diingat;
visi itu tidak cukup ambisius;
visi itu tidak cukup memotivasi;
visi itu tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut sebagian besar orang;
visi itu tidak menginspirasikan antusiasme;
visi itu, kalau tercapai, tidak memberikan rasa bangga;
visi itu tidak mampu memberi makna dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari;
visi itu tidak merefleksikan keunikan;
visi itu tidak diyakini dapat dicapai;
visi itu tidak membuat orang bersedia berkorban;
visi itu tidak “bernafas” atau tidak “hidup”;
visi itu tidak dirumuskan secara positif;
visi itu tidak dipelihara baik-baik oleh penggagasnya

Hal di atas jelas menunjukkan bahwa visi itu bukan sekadar rumusan kata-kata indah yang puitis dan enak didengar. Bahkan visi juga bukan sekadar hasil olah pengetahuan (knowledge management), meski ia mencakup hal itu. Visi tidak mungkin diperoleh dari pelatihan (training) sebab pada hakikatnya visi bukan keterampilan. Visi harus berangkat dari hati (heart, perenungan dan proses pembelajaran), yang kemudian diberi “bingkai” oleh akal budi (ratio, pengetahuan), dan kemudian direalisasikan lewat tindakan nyata (act, agenda aksi). Dengan demikian hal ihwal tentang (apa) visi dapat diajarkan, dan bagaimana merumuskan visi dapat dilatihkan, tetapi keduanya belum cukup. Harus ditambahkan dengan faktor perenungan atau kontemplasi di peristirahatan batin (sanctuary). Dan mungkin perenungan dan kontemplasi itulah yang sangat sedikit dilakukan oleh banyak orang yang memegang jabatan kepemimpinan (formal) saat ini. Itu sebabnya kebanyakan visi pribadi, visi perusahaan, bahkan visi pemerintahan (pusat dan daerah) hanyalah sekadar basa-basi saja, asesoris penghias dinding yang meaningless (tanpa makna).

Sekali lagi “bisnis” para pemimpin sejati adalah visi. Dan visi adalah soal “penglihatan”, soal “mata”. Apa saja yang “dilihat” oleh sang pemimpin akan menjadi “bisnisnya”. Untuk itu pemimpin sejati jelas harus “melek”, matanya harus fungsional. Ini menyangkut tiga hal. Pertama, ia harus “melek” secara batin. Mata spiritualnya harus fungsional, hal mana ditandai oleh moralitas, integritas, dan karakter yang relatif tak tercela. Kedua, mata budinya juga fungsional. Ia tak pernah bosan menginvestasikan waktu, uang, dan seluruh hidupnya untuk mengejar ilmu pengetahuan, mencari informasi, mengumpulkan fakta, data, dan informasi, belajar dari sejarah tentang segala sesuatu yang menarik minat dan perhatiannya, yang dijadikannya “urusan saya juga”. Hal ini, antara lain, ditandai dengan wawasan dan pengetahuan yang membentang luas, sehingga ia acap kali dijadikan narasumber yang kredibel. Pandangan dan pendapatnya sering dijadikan acuan hidup banyak orang. Ketiga, mata inderawinya juga fungsional. Untuk mata fisik ini Helen Keller (buta tuli), Fanny Crosby (buta), Stevie Wonder (buta), dan mungkin juga Abdurrahman Wahid (agak terganggu penglihatannya) dapat disebut sebagai pengecualian yang amat sangat langka.

Dari mana kita dapat mengetahui bahwa seseorang itu melek, baik mata inderawinya, maupun terutama mata budi dan mata batinnya? Dari mana lagi kalau bukan dari kata-kata dan perbuatannya. Apa yang dilihat oleh seorang pemimpin dikomunikasikannya lewat kata-kata dan tindakan nyata. Ia tidak sembarang mengumbar kata. Ia memikirkan dan merenung-renungkan setiap kata-kata yang akan diucapkannya. Ia mempercayai kekuatan kata. Ia menggunakan kekuatan kata untuk memberikan gambaran mengenai apa yang dilihat terutama oleh mata budi (eye of mind) dan mata batinnya (eye of spirit). Namun, pada sisi lain, seorang pemimpin sejati menyadari benar keterbatasan kata-kata. Karena itu ia bertindak, menyatakan kata-kata itu dalam bentuk perbuatan. Ia mengupayakan sedemikian rupa, agar kata-kata yang diucapkannya juga terlihat jelas dalam perbuatannya. Dengan demikian, baik kata maupun tindakan adalah ekspresi dari sebuah penglihatan (visi) yang dikomunikasikan dari dalam ke luar diri (inside out). Hasilnya adalah integritas, diri yang dikomunikasikan secara utuh (integer).

Apa yang sesungguhnya dilihat oleh mata budi dan mata batin seorang pemimpin? Mungkin ini: pertama, ia melihat kondisi aktual yang tidak memuaskan dirinya, realitas yang tidak ideal dan tidak berkesesuaian dengan potensi yang ada, baik dalam konteks organisasi maupun dalam konteks masyarakat dimana ia berada; kedua, ia melihat kemungkinan untuk mengintervensi realitas yang tidak ideal itu dan dengan demikian menciptakan suatu realitas baru di masa depan yang secara mendasar lebih baik; ketiga, ia melihat sejumlah agenda aksi (strategi dan sejumlah taktik) yang bisa dilakukan untuk mengubah realitas masa kini ke arah realitas masa depan yang diimpikannya itu; dan keempat, ia melihat peran, tugas dan panggilannya yang unik dan relatif tak tergantikan.

Karena penglihatannya itu, pemimpin tidak saja melihat dirinya sebagai peselancar yang menari di atas gelombang-gelombang perubahan zaman. Ia tidak melihat dirinya semata-mata sebagai pemberi respons atas berbagai gelombang besar perubahan. Ia juga melihat dirinya sebagai pembuat gelombang-gelombang perubahan itu sendiri. Ia tidak saja adaptif, mampu menyesuaikan diri, melainkan juga proaktif, mampu menginisiasi atau memprakarsai perubahan.

Sekalipun pemimpin melihat realitas masa kini sebagai kondisi yang sangat tidak memuaskan dirinya, namun ia bukanlah seorang yang sinis menatap masa depan. Ia tidak pesimistik, melainkan justru optimistik dan penuh harapan akan masa depan yang lebih baik. Dan tiap kali realitas masa kini mencoba “membunuh” harapannya, maka sang pemimpin berjuang untuk memfokuskan pandangannya kepada kemungkinan melakukan sesuatu untuk mengubah realitas itu. Ia tidak mau dipenjara oleh masa kini, tetapi memberikan dirinya untuk “ditawan” oleh masa depan. Ia sebabnya ciri utama seorang pemimpin antara lain adalah menyuarakan harapan, baik lewat kata maupun lewat tindakan nyata.

Bila kita dapat menyepakati bahwa kepemimpinan sejati dicirikan oleh visi, integritas (selarasnya kata dan perbuatan), dan harapan, maka mungkin kita juga dapat menerima kenyataan bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang telah kehilangan pemimpin. Yang kita miliki beberapa dekade terakhir ini adalah pejabat-pejabat, yakni orang-orang yang memahami kepemimpinan pertama-tama dan terutama sebagai sebuah jabatan elitis dan karenanya perlu diperebutkan. Yang kita miliki adalah manajer-manajer yang mengukuhkan status quo, mereka yang menerima realitas masa kini apa adanya, mereka yang mengikuti berbagai prosedur standar operasi yang sudah ada, mereka yang tidak pernah mampu mengubah haluan atau membuat perubahan.
Jadi, masalahnya sekarang adalah siapakah yang mau menguji dan menggugat kembali “penglihatannya”? Siapakah yang tidak merasa puas dengan kondisi Indonesia masa kini dan pada saat yang sama mampu melihat kondisi masa depan yang lebih berkesesuaian dengan potensi masyarakat bangsa dan negara Indonesia? Siapakah yang masih mampu menyelaraskan kata dan perbuatannya (membangun integritas)? Siapakah yang masih mampu mempertahankan harapannya? Siapakah yang masih melek mata budi dan mata batinnya? Mari kita cari orang-orang semacam itu, terutama di kalangan kaum muda. Dan mari kita nobatkan mereka menjadi pemimpin kita.[]