04 Januari, 2009
MATA PEMIMPIN
ada mata inderawi,
ada mata budi,
dan ada mata jiwa.
Apakah persamaan yang dimiliki oleh tokoh-tokoh sekaliber Sir Winston Churchill, Soekarno, Mohammad Hatta, Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr, Bunda Teresa, Nelson Mandela, Kim Dae-jung, Henry Ford, Walt Disney, Jack Welch, Konosuke Matsushita, Rich DeVos–Jay Van Andel, Steve Jobs, Bill Gates, Larry Ellison, Andy Grove, Michael Dell, Jeff Bezos, dan Lou Gerstner? Sedikitnya dapat disebutkan dua hal ini: pertama, visi besar dan jelas (great-clear-bold vision); kedua, konstituen yang tulus dan antusias (willing and enthusiastic constituents). Terhadap jawaban itu dapat ditambahkan bahwa mereka sama-sama manusia yang pernah dilahirkan di muka bumi, pernah melakukan serangkaian aktivitas terencana dalam hidupnya, dan kemudian dikenal dunia sebagai negarawan, pemimpin besar, perintis dan agen perubahan, inovator-kreator, konglomerat, orang-orang terkaya, dan seterusnya.
Kita tahu bahwa “bisnis” utama para pemimpin sejati adalah visi. Mereka melakukan “survai pasar” untuk mengenai kebutuhan “konsumennya”. Mereka merancang konsep “produk dan jasa” yang akan “diproduksinya”. Mereka mempersiapkan “saluran distribusi”, melakukan “promosi”, dan merekrut “agen-agen” sampai “pengecer”. Mereka menetapkan “harga produk/jasa” dan memberikan “personal guarantee” kepada para “konsumen”. Singkatnya, mereka melakukan segala aktivitas “pemasaran” dalam arti yang seluas-luasnya untuk memastikan visi yang dirumuskannya “laris terjual” (sold).
Apakah para pemimpin visioner itu “cuma” sekadar “pemasar” saja? Tidak. Mereka juga “mengkonsumsi” sendiri visi yang dirumuskannya itu. Mereka hidup dari situ, mereka makan dan minum dari situ, mereka bernafas dari situ. Mereka menjadi “pasangan” dari visi yang dikampanyekannya. Begitulah, sejarah mengajarkan kepada kita bahwa menjadi pemimpin itu tidak mungkin, bila tanpa visi. Kepemimpinan tanpa visi itu tidak ada. Kalaupun ada, hanya seolah-olah ada, tidak sejati, tidak sungguh-sungguh ada.
Masalahnya mengapa banyak rumusan visi yang digagas oleh orang tertentu tidak “dibeli” oleh orang lain? Mengapa banyak orang yang gede rasa (ge-er), merasa memiliki visi dan menyebut dirinya pemimpin, tetapi tidak banyak (atau bahkan tidak ada sama sekali) orang-orang yang willing to follow enthusiastically? Saya tidak memiliki jawaban yang pasti. Namun studi dan perenungan saya selama tiga tahun terakhir sedikitnya menunjukkan 17 kemungkinan berikut:
visi itu tidak cukup jelas;
visi itu tidak cukup dikomunikasikan;
visi itu tidak cukup menarik perhatian;
visi itu tidak sesuai dengan harapan dan keinginan banyak orang;
visi itu tidak cukup sederhana untuk dapat diingat;
visi itu tidak cukup ambisius;
visi itu tidak cukup memotivasi;
visi itu tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut sebagian besar orang;
visi itu tidak menginspirasikan antusiasme;
visi itu, kalau tercapai, tidak memberikan rasa bangga;
visi itu tidak mampu memberi makna dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari;
visi itu tidak merefleksikan keunikan;
visi itu tidak diyakini dapat dicapai;
visi itu tidak membuat orang bersedia berkorban;
visi itu tidak “bernafas” atau tidak “hidup”;
visi itu tidak dirumuskan secara positif;
visi itu tidak dipelihara baik-baik oleh penggagasnya
Hal di atas jelas menunjukkan bahwa visi itu bukan sekadar rumusan kata-kata indah yang puitis dan enak didengar. Bahkan visi juga bukan sekadar hasil olah pengetahuan (knowledge management), meski ia mencakup hal itu. Visi tidak mungkin diperoleh dari pelatihan (training) sebab pada hakikatnya visi bukan keterampilan. Visi harus berangkat dari hati (heart, perenungan dan proses pembelajaran), yang kemudian diberi “bingkai” oleh akal budi (ratio, pengetahuan), dan kemudian direalisasikan lewat tindakan nyata (act, agenda aksi). Dengan demikian hal ihwal tentang (apa) visi dapat diajarkan, dan bagaimana merumuskan visi dapat dilatihkan, tetapi keduanya belum cukup. Harus ditambahkan dengan faktor perenungan atau kontemplasi di peristirahatan batin (sanctuary). Dan mungkin perenungan dan kontemplasi itulah yang sangat sedikit dilakukan oleh banyak orang yang memegang jabatan kepemimpinan (formal) saat ini. Itu sebabnya kebanyakan visi pribadi, visi perusahaan, bahkan visi pemerintahan (pusat dan daerah) hanyalah sekadar basa-basi saja, asesoris penghias dinding yang meaningless (tanpa makna).
Sekali lagi “bisnis” para pemimpin sejati adalah visi. Dan visi adalah soal “penglihatan”, soal “mata”. Apa saja yang “dilihat” oleh sang pemimpin akan menjadi “bisnisnya”. Untuk itu pemimpin sejati jelas harus “melek”, matanya harus fungsional. Ini menyangkut tiga hal. Pertama, ia harus “melek” secara batin. Mata spiritualnya harus fungsional, hal mana ditandai oleh moralitas, integritas, dan karakter yang relatif tak tercela. Kedua, mata budinya juga fungsional. Ia tak pernah bosan menginvestasikan waktu, uang, dan seluruh hidupnya untuk mengejar ilmu pengetahuan, mencari informasi, mengumpulkan fakta, data, dan informasi, belajar dari sejarah tentang segala sesuatu yang menarik minat dan perhatiannya, yang dijadikannya “urusan saya juga”. Hal ini, antara lain, ditandai dengan wawasan dan pengetahuan yang membentang luas, sehingga ia acap kali dijadikan narasumber yang kredibel. Pandangan dan pendapatnya sering dijadikan acuan hidup banyak orang. Ketiga, mata inderawinya juga fungsional. Untuk mata fisik ini Helen Keller (buta tuli), Fanny Crosby (buta), Stevie Wonder (buta), dan mungkin juga Abdurrahman Wahid (agak terganggu penglihatannya) dapat disebut sebagai pengecualian yang amat sangat langka.
Dari mana kita dapat mengetahui bahwa seseorang itu melek, baik mata inderawinya, maupun terutama mata budi dan mata batinnya? Dari mana lagi kalau bukan dari kata-kata dan perbuatannya. Apa yang dilihat oleh seorang pemimpin dikomunikasikannya lewat kata-kata dan tindakan nyata. Ia tidak sembarang mengumbar kata. Ia memikirkan dan merenung-renungkan setiap kata-kata yang akan diucapkannya. Ia mempercayai kekuatan kata. Ia menggunakan kekuatan kata untuk memberikan gambaran mengenai apa yang dilihat terutama oleh mata budi (eye of mind) dan mata batinnya (eye of spirit). Namun, pada sisi lain, seorang pemimpin sejati menyadari benar keterbatasan kata-kata. Karena itu ia bertindak, menyatakan kata-kata itu dalam bentuk perbuatan. Ia mengupayakan sedemikian rupa, agar kata-kata yang diucapkannya juga terlihat jelas dalam perbuatannya. Dengan demikian, baik kata maupun tindakan adalah ekspresi dari sebuah penglihatan (visi) yang dikomunikasikan dari dalam ke luar diri (inside out). Hasilnya adalah integritas, diri yang dikomunikasikan secara utuh (integer).
Apa yang sesungguhnya dilihat oleh mata budi dan mata batin seorang pemimpin? Mungkin ini: pertama, ia melihat kondisi aktual yang tidak memuaskan dirinya, realitas yang tidak ideal dan tidak berkesesuaian dengan potensi yang ada, baik dalam konteks organisasi maupun dalam konteks masyarakat dimana ia berada; kedua, ia melihat kemungkinan untuk mengintervensi realitas yang tidak ideal itu dan dengan demikian menciptakan suatu realitas baru di masa depan yang secara mendasar lebih baik; ketiga, ia melihat sejumlah agenda aksi (strategi dan sejumlah taktik) yang bisa dilakukan untuk mengubah realitas masa kini ke arah realitas masa depan yang diimpikannya itu; dan keempat, ia melihat peran, tugas dan panggilannya yang unik dan relatif tak tergantikan.
Karena penglihatannya itu, pemimpin tidak saja melihat dirinya sebagai peselancar yang menari di atas gelombang-gelombang perubahan zaman. Ia tidak melihat dirinya semata-mata sebagai pemberi respons atas berbagai gelombang besar perubahan. Ia juga melihat dirinya sebagai pembuat gelombang-gelombang perubahan itu sendiri. Ia tidak saja adaptif, mampu menyesuaikan diri, melainkan juga proaktif, mampu menginisiasi atau memprakarsai perubahan.
Sekalipun pemimpin melihat realitas masa kini sebagai kondisi yang sangat tidak memuaskan dirinya, namun ia bukanlah seorang yang sinis menatap masa depan. Ia tidak pesimistik, melainkan justru optimistik dan penuh harapan akan masa depan yang lebih baik. Dan tiap kali realitas masa kini mencoba “membunuh” harapannya, maka sang pemimpin berjuang untuk memfokuskan pandangannya kepada kemungkinan melakukan sesuatu untuk mengubah realitas itu. Ia tidak mau dipenjara oleh masa kini, tetapi memberikan dirinya untuk “ditawan” oleh masa depan. Ia sebabnya ciri utama seorang pemimpin antara lain adalah menyuarakan harapan, baik lewat kata maupun lewat tindakan nyata.
Bila kita dapat menyepakati bahwa kepemimpinan sejati dicirikan oleh visi, integritas (selarasnya kata dan perbuatan), dan harapan, maka mungkin kita juga dapat menerima kenyataan bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang telah kehilangan pemimpin. Yang kita miliki beberapa dekade terakhir ini adalah pejabat-pejabat, yakni orang-orang yang memahami kepemimpinan pertama-tama dan terutama sebagai sebuah jabatan elitis dan karenanya perlu diperebutkan. Yang kita miliki adalah manajer-manajer yang mengukuhkan status quo, mereka yang menerima realitas masa kini apa adanya, mereka yang mengikuti berbagai prosedur standar operasi yang sudah ada, mereka yang tidak pernah mampu mengubah haluan atau membuat perubahan.
Jadi, masalahnya sekarang adalah siapakah yang mau menguji dan menggugat kembali “penglihatannya”? Siapakah yang tidak merasa puas dengan kondisi Indonesia masa kini dan pada saat yang sama mampu melihat kondisi masa depan yang lebih berkesesuaian dengan potensi masyarakat bangsa dan negara Indonesia? Siapakah yang masih mampu menyelaraskan kata dan perbuatannya (membangun integritas)? Siapakah yang masih mampu mempertahankan harapannya? Siapakah yang masih melek mata budi dan mata batinnya? Mari kita cari orang-orang semacam itu, terutama di kalangan kaum muda. Dan mari kita nobatkan mereka menjadi pemimpin kita.[]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar