Setali tiga uang, debat Cawapres putaran pertama yang disiarkan berbagai TV tanah air ngak jauh beda debat Capres yang lalu, kesimpulan saya benar-benar menyebalkan dan bikin gregetan. Bayangkan acara yang menampilkan calon pemimpin bangsa dari 240 juta rakyat Indonesia tak ubahnya seperti pemilihan Indonesian Idol. Adanya polling SMS, Tim sukses yang “asbun”, Suara berbagai alat music yang dimainkan para pendukung, pemandu acara yang “over acting” dan banyaknya iklan yang berseliweran membuat acara tersebut tidak nikmat untuk ditonton. Saya benar-benar dibuat kesal dan muak atas segala permasalahan itu. Acara yang seharusnya menampilkan intelektualitas dan integritas calon hilang bagaikan ditelan gemuruh suara gendang, suuitan, keplokan persis seperti acara 17 Agustusan.
Kita sebagai bangsa memang tidak pandai berterima kasih dan menghargai diri sendiri karena dengan bangga menampilkan kebodohan kita kepada khalayak ramai. “Apa kata dunia”, jika acara debat calon presiden kita dibiayai oleh iklan yang notabene berasal dari perusahaan milik asing seperti Indosat. Jika acara yang benar-benar sacral saja kita tidak dapat menampilkan harga diri bangsa apalagi acara-acara lain. Padahal tema debat Cawapres saat itu “Mengali potensi dan jati diri bangsa Indonesia”, lalu apa yang patut kita banggakan dari acara debat tersebut?? Jati diri kita saat itu jelas sudah tergadaikan ke pemasang iklan dan tindakan konyol tim sukses, pendukung, pemandu acara dan polling sms tersebut.
Sebagai bangsa kita harus sedih melihat kenyataan bahwa kita tidak ada harganya sama sekali. Kita dibiayai oleh orang lain dalam segala hal, bahkan hidup anak cucu kita sudah digadaikan untuk bayar hutang yang semakin menumpuk hampir Rp. 1.666 T. Jika dikalkulasikan dengan jumlah penduduk Indonesia maka setiap orang menanggung beban hutang Rp. 7.7 juta/jiwa. Padahal tidak semua anak bangsa ini yang merasakan nikmatnya kue pembangunan. Kalau mau berkata jujur maka harus kita katakan, “Kamu makan enaknya saya yang dapat sampahnya”.
Penampilan Cawapres Prabowo, Boediono, maupun Wiranto malam itu sungguh jauh dari acara debat. Tak ubahnya lomba pidato yang lebih pas seperti acara Tanya jawab antara dosen dan mahasiswanya. Tidak ada yang baru yang disampaikan dan tidak ada yang fenomenal. Yang saya harapkan malam itu salah satu Cawapres berkata:”Jika saya terpilih nanti maka saya akan melakukan nasionalisasi perusahaan2 asing yang mengerogoti kekayaan alam Indonesia”, seperti halnya yang dilakukan Presiden Hugo Chaves di Venezuela, Evo Morales di Bolivia, karena kekayaan alam Indonesia harus dinikmati sebesar2nya oleh rakyat Indonesia sesuai UUD 1945. Sayang hal ini tidak terjadi padahal saya akan menjatuhkan pilihan saya kepada calon yang berani tersebut.
Acara debat tersebut akan pas jika dipandu oleh Presenter Tina Talita yang berani memotong, mengarahkan, bahkan menelanjangi peserta debat. Tidak seperti saat ini yang penuh dengan protokoler, santun, jaim dan membeo. Moderator dari kalangan akademisi memang tidak diragukan lagi keilmuannya namun untuk berdebat orang harus berani mengarahkan pada topic yang benar dan jawabannya tidak asal omong karena harus dipertanggungjawabkan jika terpilih nanti. Mari kita berdebat untuk mendapatkan yang lebih baik.
Kita sebagai bangsa memang tidak pandai berterima kasih dan menghargai diri sendiri karena dengan bangga menampilkan kebodohan kita kepada khalayak ramai. “Apa kata dunia”, jika acara debat calon presiden kita dibiayai oleh iklan yang notabene berasal dari perusahaan milik asing seperti Indosat. Jika acara yang benar-benar sacral saja kita tidak dapat menampilkan harga diri bangsa apalagi acara-acara lain. Padahal tema debat Cawapres saat itu “Mengali potensi dan jati diri bangsa Indonesia”, lalu apa yang patut kita banggakan dari acara debat tersebut?? Jati diri kita saat itu jelas sudah tergadaikan ke pemasang iklan dan tindakan konyol tim sukses, pendukung, pemandu acara dan polling sms tersebut.
Sebagai bangsa kita harus sedih melihat kenyataan bahwa kita tidak ada harganya sama sekali. Kita dibiayai oleh orang lain dalam segala hal, bahkan hidup anak cucu kita sudah digadaikan untuk bayar hutang yang semakin menumpuk hampir Rp. 1.666 T. Jika dikalkulasikan dengan jumlah penduduk Indonesia maka setiap orang menanggung beban hutang Rp. 7.7 juta/jiwa. Padahal tidak semua anak bangsa ini yang merasakan nikmatnya kue pembangunan. Kalau mau berkata jujur maka harus kita katakan, “Kamu makan enaknya saya yang dapat sampahnya”.
Penampilan Cawapres Prabowo, Boediono, maupun Wiranto malam itu sungguh jauh dari acara debat. Tak ubahnya lomba pidato yang lebih pas seperti acara Tanya jawab antara dosen dan mahasiswanya. Tidak ada yang baru yang disampaikan dan tidak ada yang fenomenal. Yang saya harapkan malam itu salah satu Cawapres berkata:”Jika saya terpilih nanti maka saya akan melakukan nasionalisasi perusahaan2 asing yang mengerogoti kekayaan alam Indonesia”, seperti halnya yang dilakukan Presiden Hugo Chaves di Venezuela, Evo Morales di Bolivia, karena kekayaan alam Indonesia harus dinikmati sebesar2nya oleh rakyat Indonesia sesuai UUD 1945. Sayang hal ini tidak terjadi padahal saya akan menjatuhkan pilihan saya kepada calon yang berani tersebut.
Acara debat tersebut akan pas jika dipandu oleh Presenter Tina Talita yang berani memotong, mengarahkan, bahkan menelanjangi peserta debat. Tidak seperti saat ini yang penuh dengan protokoler, santun, jaim dan membeo. Moderator dari kalangan akademisi memang tidak diragukan lagi keilmuannya namun untuk berdebat orang harus berani mengarahkan pada topic yang benar dan jawabannya tidak asal omong karena harus dipertanggungjawabkan jika terpilih nanti. Mari kita berdebat untuk mendapatkan yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar